Festival Bandung Menggugat: Melodi Perlawanan dan Harapan

Author : Master Admin in Info Kampus

Info Kampus

Momentum – Sabtu (12/04/2025), Takut berpendapat adalah fenomena yang semakin meresap dalam masyarakat kita saat ini. Dilansir dari laman GoodStats, Laporan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) terdapat sekitar 50,6 persen masyarakat yang merasa takut membicarakan persoalan politik di negara demokrasi ini. Wujud nyata dari ketakutan tersebut bahkan terjadi di lingkungan kampus, termasuk mahasiswa dan dosennya. Mereka menolak dan seakan takut untuk menyuarakan pandangan mereka atas suatu isu yang sensitif atau berbicara hal-hal yang berbau politik. Ketakutan ini dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang mungkin saja mengancam. Di balik ketakutan tersebut, kemampuan untuk berpendapat dan menyuarakan suara adalah salah satu elemen inti dari  demokrasi.

“Ketakutan itu, baik oleh dosen maupun oleh mahasiswa, itukan sebenarnya diciptakan karena sistem. Mahasiswanya takut nilai jelek, dikeluarkan, dan bahkan diskors—karena memang sudah ada kasusnya. Karena memang saya di KIKA (Kaukus Indonesia untuk Kebebas
Akademik), fokus indonesia untuk bebas akademik. Salah satu tugas kami adalah membantu teman-teman mahasiswa yang direpresi—justru hanya karena bicara kritis. Jadi, memang kasusnya ga bisa dipungkiri. Ketakutan
itu, pasti muncul. Karena memang diciptakan oleh penguasa,” ungkap Bivitri Susanti mengenai ketakutan mahasiswa dan dosen dalam 
membahas isu seputar politik.

Di samping menyoal tentang ketakutan masyarakat dalam membahas hal-hal tentang politik, tentu saja tidak terlepas dari aksi demonstrasi yang biasa dilakukan. Namun, terkadang aksi demonstrasi sering berakhir
dengan kerusuhan. Menurut Bivitri Susanti dalam wawancaranya, “Demo-kan pada dasarnya—damai, ya. Karena yang demo tidak mempunyai senjata iya-kan. Senjatanya cuman poster gitu, ya. Jadi, awalnya pasti niatnya damai. Biasanya baru terjadi eskalasi kalau seandainya sudah provokasi. Kita enggak tau, dari mana sudah banyak barisan mahasiswa. Tapi, kalaupun mahasiswa menurut saya itu, terjadi karena selama ini ternyata kalau tidak melakukannya dengan bombastis kita sama sekali tidak akan didengar. Jadi, itu satu. Saya tidak mau menyalahkan karena memang situasi hari ini, kalau kita tidak menyampaikannya dengan cara yang bisa betul-betul ditangkap oleh banyak orang, kecenderungannya akan diabaikan. Kemudian yang ke 2. Kalau dibilang ‘demo’ itu harus mungkin kalo damai. Menurut saya, itu pasti damai. Cuman ya—kan demo itu menyatakan pendapat harus santun. Berarti ada kesalahpahaman dari mereka sendiri tentang apa itu peran sebenarnya dari warga. Peran warga,
peran mahasiswa memang mengkritik dan kritik itu enggak perlu ada disusun dengan kata-kata yang santun. Justru tugas dari penyelenggara
negara adalah untuk bisa mendengar kritik itu sekeras apapun.”

Menurut Bivitri Susanti, banyaknya mahasiswa atau masyarakat yang bersuara melalui tiktok dibandingkan dengan ruang diskusi, itu
merupakan suatu adaptasi yang akan berguna untuk mobilisasi awal dan dapat menyebarkan pengetahuan. Namun, jika menginginkan transformasi yang sesungguhnya, Bivitri Susanti menuturkan jika kita harus mempunyai struktur. Karena jika hanya melalui tiktok, maka perubahan yang sesungguhnya tidak akan biasa terjadi.

Tak lupa Bivitri Susanti juga mengungkapkan pendapatnya mengenai boleh atau tidaknya mahasiswa berpolitik. “Pertama kita harus melihat definisi dulu apa itu berpolitik. Karena tadi, awal saya sudah bilang semua hal di sekitar kita, itu politik sebenarnya. Kita harus politisasi semua hal. Kalian jadi Persma juga politik gitu. Nah, tapi-kan yang sering dikonotasikan dengan berpolitik adalah ikutan dalam mobilisasi untuk agenda tertentu dengan imbalan uang atau jabatan. Nah, menurut saya, itu bukan berpolitik, itu namanya—memang ya, memperdagangkan politik. Nah, kalau
memperdagangkan politik, ya siapapun tidak boleh. Bukan hanya mahasiswa, menteri juga tidak boleh memperdagangkan politik mestinya,”
tuturnya.

Jadi menurut Bivitri Susanti, sepanjang kita bisa menunjukan bahwa pada akhirnya kita tidak bergerak untuk diri sendiri, transparan, akuntabel
maka berpolitik tidak ada batasnya, apapun perlu diperjuangkan. Harus diperjuangkan. Jangan dibatasi duluan oleh narasi-narasi yang salah.


Reporter : Hilmi
Tulisan : Berliana
Potret : Difha, Wardah, Chika
Editor : Puteri, Hilmi 

==========
Narahubung, 
Humas LPM Momentum : 083820060183 (Difha)
Website : persmomentum.com
YouTube : LPM Momentum 
Instagram : @lpm.momentum.unla


Kembali ke Berita