Gerakan silat yang tampak sederhana di mata penonton, sesungguhnya menyimpan kisah panjang tentang dedikasi, pencarian jati diri, dan semangat yang tak pernah padam. Dua mahasiswa Universitas Langlangbuana membuktikan bahwa pencak silat bukan hanya sekadar olahraga, melainkan jalan hidup yang membentuk karakter dan arah masa depan mereka.
Danteu Repan Pramajati Pamungkas, mahasiswa Prodi MKKP angkatan 2024 sekaligus anggota UKM Silat UNLA, mengenal dunia olahraga sejak kecil. “Awalnya dari SD si ya gitu sukanya di bidang olahraga, dari SD ikut taekwondo, SMP ikut silat juga” ujarnya. Semangat itu terus tumbuh, hingga membawanya meraih juara dua pada Bandung Open Turnamen tingkat pemula kelas dewasa, sebuah pencapaian yang ia anggap sebagai bukti konsistensi.
Sementara itu, Galih Nugraha dari jurusan Manajemen menemukan panggilan jiwanya di pencak silat setelah bergabung dengan UKM kampus. Meski awalnya hanya ikut-ikutan, ia mulai merasakan keterikatan yang mendalam. “Awalnya ikut-ikutan, tapi lama-lama saya merasa menemukan passion yang kuat,” katanya. Keberhasilannya meraih peringkat kedua dalam Bandung Open se-Jawa Barat menjadi titik balik dalam perjalanan atletiknya.
Keduanya sepakat bahwa rutinitas latihan dan dukungan tim adalah fondasi utama dalam membangun performa. Danteu memilih berlatih setiap malam selepas Maghrib, sedangkan Galih menjalani jadwal latihan tiga kali seminggu dengan fokus berbeda: teknik dasar, sparring, dan fisik. “Peran pelatih sangat penting, bukan hanya strategi tapi juga dorongan mental saat lelah dan jenuh,” ujar Galih, menekankan pentingnya aspek psikologis dalam latihan.
Tak hanya fisik, kekuatan mental juga menjadi bagian tak terpisahkan dari persiapan mereka. Danteu mengaku sudah terbiasa menghadapi tekanan sejak kecil. Galih pun punya caranya sendiri: visualisasi, meditasi ringan, dan pengendalian emosi untuk menjaga fokus di gelanggang.
Meski aktivitas olahraga menyita waktu, keduanya tetap berkomitmen pada studi akademik. “Kuliah dari pagi sampai siang, latihan malam hari,” jelas Danteu. Galih menambahkan, “Latihan tidak mengganggu kuliah karena dilakukan setelah Maghrib. Dukungan dari dosen dan teman sangat membantu.” Bagi mereka, keseimbangan antara akademik dan olahraga adalah bukti kedisiplinan sekaligus manajemen waktu yang baik.
Lebih dari sekadar teknik bela diri, pencak silat bagi Danteu juga memiliki nilai spiritual. “Pemecahan barang seperti lampu atau bata itu hasil dari latihan pernapasan,” ungkapnya. Sementara bagi Galih, silat adalah seni dan filosofi hidup. “Ada nilai kesabaran, sportivitas, dan penghargaan terhadap lawan. Itu membentuk saya jadi pribadi yang rendah hati.”
Kenangan di gelanggang pun menjadi bagian tak terlupakan dalam perjalanan mereka. Danteu mengenang momen pertamanya bertanding sebagai pengalaman paling berkesan. “Ada rasa takut, apalagi lawannya tengil banget. Tapi justru dia yang kalah,” katanya sambil tertawa. Galih juga tak melupakan kekalahan tipis dari lawan tangguh yang justru memberinya pelajaran berharga tentang ketekunan.
Menyambut Hari Olahraga Nasional, keduanya menyampaikan harapan besar untuk masa depan. Danteu bercita-cita menembus kejuaraan internasional, sementara Galih berharap pencak silat semakin dicintai generasi muda sebagai warisan budaya Indonesia.
“Terus semangat dan jangan menyerah. Pertandingan pasti ada menang atau kalah, jangan berkecil hati,” pesan Danteu. Galih menambahkan, “Nikmati prosesnya. Disiplin, kerja keras, dan doa akan membawa pencapaian besar. Ingat, setiap juara dulunya juga pemula.”
Bagi keduanya, olahraga bukan sekadar aktivitas fisik, melainkan jalan hidup. “Penting untuk kesehatan,” kata Danteu. Galih menutup dengan refleksi mendalam: “Pencak silat mengajarkan arti perjuangan, kebersamaan, dan semangat pantang menyerah. Saya ingin terus berprestasi dan berbagi ilmu kepada generasi selanjutnya.”
Reporter : Fitria
Tulisan : Aziz
Desain : Ilsan
==========
Narahubung,
Humas LPM Momentum : +62 813-2531-8268 (Safira)
Website : persmomentum.com
YouTube : LPM Momentum
Instagram : @lpm.momentum.unla