Revisi Undang-Undang TNI, Bentuk Tidak Tunduknya Pemerintah Pada Semangat Reformasi TNI

Author : Master Admin in Info Kampus

Info Kampus

Pengesahan revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi Undang-Undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia (DPR RI) pada 20 Maret 2025 telah menimbulkan berbagai reaksi di masyarakat.
Perdebatan mengenai perluasan kewenangan militer kembali mencuat. Perluasan kewenangan TNI dalam revisi UU TNI berpotensi membahayakan demokrasi dan hak asasi manusia.

Gufron Mabruri selaku Direktur Eksekutif Imparsial, menegaskan bahwa memperluas peran militer ke ranah keamanan dapat mengakibatkan penggunaan kekuatan militer terhadap masyarakat yang dianggap sebagai
ancaman yang memunculkan kekhawatiran akan potensi pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Pengalaman sejarah Dwifungsi ABRI pada era Orde
Baru, ketika militer memiliki peran ganda dalam urusan sipil dan politik, menjadi pengingat akan bahaya otoritarianisme serta kemungkinan
pelanggaran HAM jika batasan terhadap peran militer tidak ditegaskan dengan jelas.

Perlu diingat bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia memiliki sejarah panjang yang penuh dinamika, terutama selama masa Orde Baru (1966–1998). Pada masa itu, militer melalui konsep dwifungsi ABRI memiliki peran ganda dalam pertahanan dan urusan sipil-politik. Hal ini, seringkali disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaan yang berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Contohnya adalah
pembantaian yang terjadi pada 1965–1966. Setelah peristiwa G30S, ratusan ribu orang yang diduga terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dibunuh tanpa melalui proses hukum. Selain itu, terdapat juga tragedi Tanjung Priok (1984), yang mana aparat keamanan menindak secara keras para demonstran, serta berbagai kasus penembakan terhadap demonstran yang memprotes kebijakan pemerintah. Tragedi Trisakti dan Semanggi (1998) juga menjadi contoh lain, para aparat menembak mahasiswa yang 
menentang rezim Orde Baru.

Menurut teori kontrol sipil-militer yang dikembangkan oleh Samuel P. Huntington dalam bukunya “The Soldier and the State", supremasi sipil atas militer harus dijaga untuk mencegah potensi penyalahgunaan kekuasaan. Jika perluasan kewenangan militer tidak dibatasi, supremasi sipil dapat terganggu, sehingga menciptakan risiko bagi demokrasi dan perlindungan HAM.

Dilansir dari IDN TIMES pada 8 Maret 2025, Agnes Callamard, Sekretaris Jenderal Amnesty International menyatakan bahwa pelanggaran HAM dan militerisasi di ruang-ruang sipil di Indonesia semakin marak. Ia menyoroti bahwa tren ini mencerminkan praktik otoriter yang meningkat, dengan banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak diusut secara tuntas. Amnesty International juga menyerukan penghentian impunitas bagi pihak-pihak yang terlibat dalam pelanggaran HAM, termasuk dalam kasus-kasus yang melibatkan militer.

Perubahan pasal pada revisi UU TNI yang disahkan, disebut tidak berfokus pada reformasi TNI yang sesungguhnya. Dikutip dari Media Indonesia, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia menyayangkan proses revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004
tentang TNI tidak menyentuh pasal 74 yang mengatur sistem Peradilan Militer. Mengingat pasal 74 tersebut merupakan penghalang pemberlakuan pasal 65 ayat (2) yang mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit militer dan yurisdiksi pengadilan yang lebih relevan dan berkeadilan.

Hal itu sesungguhnya telah menyalahi semangat dan agenda reformasi TNI yang telah dimandatkan dalam pasal 3 ayat (4) TAP. MPR Nomor VII Tahun
2000 dan pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang secara tegas mengamanatkan pemberlakuan proses hukum bagi prajurit TNI yang melakukan tindak pidana militer untuk tunduk kepada yurisdiksi pengadilan militer dan bagi prajurit TNI yang melakukan tindak
pidana umum untuk tunduk dan patuh pada yurisdiksi pengadilan umum (pengadilan sipil).

Tidak tersentuhnya ketentuan terkait peradilan militer. Maka, pemerintah berikut dengan lembaga-lembaga berwenang, sama sekali tidak
melaksanakan semangat yang sama dengan amanat reformasi TNI yang sudah diatur. Mengingat peradilan militer sebagai peradilan khusus memiliki ketentuan khusus untuk menjalankan proses peradilannya. Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan telah menunjukkan kelemahan peradilan militer yang syarat akan potensi impunitas, prinsip fair trail yang dikesampingkan, hukuman yang dijatuhkan kerapkali jauh lebih ringan daripada hukuman
yang terdapat di pengadilan sipil, serta independensi peradilan yang menjadi pertanyaan, seberapa jauh peradilan militer akan berpihak pada
keadilan.

Fenomena tersebut jelas memunculkan dilema hukum yang akan berpotensi memberikan ruang bagi pelanggaran maupun kejahatan di ruang-ruang sipil dan kepada masyarakat sipil. Kemudian, memberikan ketidakadilan bagi korban (masyarakat sipil) akibat dari penegakan pada
peradilan militer. Singkatnya di satu sisi militer diberikan keleluasaan untuk masuk pada ruang-ruang sipil. Namun, di sisi lain ketika militer
melakukan tindak pidana, militer tetap tunduk dan patuh pada yurisdiksi pengadilan militer (kecuali pelanggaran HAM berat dan tindak pidana korupsi). Kelesuan inilah yang harusnya segera diberikan jawabannya dengan semangat perbaikan (reformasi total TNI).

Sumber : 
Buku
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, Menerobos Jalan Buntu : Kajian terhadap Sistem Peradilan Militer di Indonesia, PT. Rinam Antartika cv, Jakarta Selatan, 2009.

Artikel/Sumber lainnya
M. Sahrozzi, “RUU TNI : Ancaman terhadap
Supremasi Sipil”,
https://timesindonesia.co.id/kopi times/532283/ruu-tniancaman-terhada
p-supremasi-sipil, diakses pada tanggal 27 Maret 2025.

IDN Times, “Sekjen Amnesty Evaluasi RI : Pelanggaran HAM-Militerisasi Masih Marak”,
https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/sekjen-amnesty-evaluasi-ri-pelanggaran-ham-militerisasi-masih-marak, diakses pada tanggal 27 Maret 2025.

LBHM, ”Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi
Sektor Keamanan”,
https://lbhmasyarakat.org/koalisi-masyarakat-sipil-untuk-reformasi-sektor -keamanan/, diakses pada tanggal 30 Maret 2025.

Kembali ke Berita